Saturday, August 20, 2016

Komunitas Perempuan Berkebaya: Menghidupkan Dan Bersabahat Kembali Dengan Kebaya Nasional


Adanya pergeseran makna pemakaian kebaya saat ini hampir mematikan citra kebaya di mata dunia. Dulu gambaran wanita Indonesia identik dengan sanggul, kebaya, berkain, dan selendangnya yang apik. Saat ini, gambaran tersebut sudah jarang terlihat pada wanita Indonesia. Setidaknya, ada momen-momen tertentu seperti wisuda, pesta pernikahan  atau acara kebudayaan, dimana kebaya nasional dipakai lagi. Kebaya nasional kini tersirat hanya untuk wanita usia senja dan pakaian formal saja, namun terasa asing sebagai pakaian sehari-hari.

Menghidupkan kembali kebaya nasioanal, empat orang wanita, yakni Lia Natalia, Kristin Samah, Rahmi Hidayati, dan Tuti Marlina menggagas Komunitas Perempuan Berkebaya 4 Desember 2014 lalu. Sebagai wadah pembudayaan pemakaian kebaya dan kain nusantara bagi perempuan-perempuan Indonesia, tentunya melalui wadah ini kebaya nasional pun jadi lebih bersahabat di mata bangsa sendiri juga bangsa lain.


Awal Perjalanan

Berawal dari pertemuannya di grup jurnalis dan mantan jurnalis sejak awal era reformasi. Mereka bertemu dengan dresscode kebaya dan kain karena umumnya ketika bertugas ke luar kota, mereka membeli kain-kain khas daerah lalu mengoleksinya.

Dengan kesamaan itulah mereka melanjutkan berwisata dengan berkebaya. Dimulai sejak pendakiannya ke Dieng dan Gunung Prau, Lia, Rahmi, Tuti, dan Kristin menjadi terpanggil dan konsisten menggunakan kebaya dan kain hampir setiap hari. Foto-foto mereka yang beredar di media sosial Facebook menarik perhatian rekan-rekan jurnalis lainnya, Suara.com adalah media pertama yang mewawancarai mereka, kemudian menyusul media-media lainnya.

Grup yang dimulai dengan 4 orang melalui WhatsApp ini, menyusul menetapkan langkah-langkah ke depan melalui rapat kordinasi. Pada 13 Januari 2015, nama Perempuan Berkebaya diputuskan sebagai nama grup.

Sampai saat ini, Perempuan Berkebaya mengajak dan berkenalan dengan banyak perempuan Indonesia lainnya yang memiliki visi sama untuk mencintai, mengoleksi, dan pengguna kebaya serta kain nusantara. Tingginya respon perempuan-perempuan Indonesia lainnya membawa grup mereka mengembangkan sayapnya ke sosial media Facebook dan Instagram.

Diperkirakan sekira 600 orang anggota yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia, dan luar Indonesia seperti di Brunei, Kamboja, Amerika, Inggris, dan Swiss menyatakan dirinya sebagai Perempuan Berkebaya.

Komunitas ini terbuka untuk mereka yang terpanggil melestarikan budaya Indonesia lewat busana Indonesia. “Kebaya hanya pintu masuk saja, karena di Indonesia ada baju kurung dan sebagainya yang bisa dipadukan dengan kain-kain Indonesia bukan hanya batik,” Tutur Mbak Lia.

Perempuan Berkebaya Menghadiri Acara Bincang Batik Lokcan di Museum Tekstil Jakarta


Berbagi Cerita Perjuangan

Ada cerita menarik di balik perjuangan lawan arus trend fashion. Sejak Mbak Lia berwisata ala backpackers ke beberapa negara ASEAN dan Cina, ia pun berbagi pengalamannya dengan saya.

Seperti pengalaman berkesan di Myanmar, orang-orang menyangka ia adalah warga lokal, karena perempuan Myanmar kesehariannya memakai kain dan blus pendek, sedangkan laki-lakinya bersarung setiap hari. Ironisnya, ketika berjumpa dengan warga Indonesia selama di perjalanan, mereka tidak menyangka bahwa ia berasal dari Indonesia. Oleh karena itu, ia beruntung membayar ongkos transport dan tiket masuk wisata lebih murah, bahkan gratis.

Di Cina, orang-orang lokal tidak mempercayai Mbak Lia yang berasal dari Indonesia. Mereka menyangka ia berasal dari Afrika, tetapi pakaian yang dipakainya seperti orang lokal dari daerah Selatan.

Sebagian cerita di atas menggambarkan kebaya Indonesia yang belum dikenal baik oleh bangsa sendiri apalagi luar Indonesia. Alasan inilah yang turut mengobarkan semangatnya untuk berkebaya sehari-hari. Dengan berkebaya, Mbak Lia juga dapat menceritakan banyak hal tentang Indonesia sehingga menimbulkan kesan yang baik bagi mereka terhadap Negeri Khatulistiwa ini.

Panggilan sebagai duta kebaya dan kain tidak hanya dilakukannya saat berplesiran saja, tetapi juga dilakoninya saat mengikuti berbagai forum diskusi internasional di luar Indonesia. Maka dari itu semakin terbukalah kesempatan Indonesia dan busana tradisionalnya dikenal luas.

Semoga di masa yang akan datang, perempuan berkebaya dan berkain nasional dapat langsung diindentifikasi sebagai perempuan Indonesia, seperti halnya perempuan India dengan sarinya, dan perempuan Jepang dengan kimononya.

“Semoga di masa yang akan datang, perempuan berkebaya dan berkain dapat langsung diindentifikasi sebagai perempuan Indonesia.”



Apa Saja Kegiatan Perempuan Berkebaya?

Ada banyak kegiatan sederhana yang bisa dilakukan Perempuan Berkebaya.  Dimulai dengan wajib membagikan foto saat berkebaya dan berkain sehari-hari, misal di pusat perbelanjaan setelah jam kerja, makan siang bersama untuk mereka yang kantornya berdekatan, bergabung saat funwalk, ke tempat wisata, atau acara-acara budaya. Jadi diharapkan kegiatan ini bisa saling memberi inspirasi.

Perempuan Berkebaya juga mengadakan peluncuran buku bersama, acara-acara diskusi budaya soal kebaya dan kain seperti tips dan trik menggunakan kain yang nyaman dan mudah untuk aktivitas sehari-hari; ikut berpartisipasi dalam kegiatan yang berhubungan dengan isu-isu perempuan, pemberdayaan perempuan, budaya, dan wisata. Tidak lupa ikut hadir dalam acara-acara penting anggota komunitas selama tahu dan bisa hadir.

Beberapa anggota lainnya sudah mulai berwisata sambil berkebaya dan berkain di dalam maupun di luar negeri. Sahabat Perempuan Berkebaya di Eropa dan Kamboja termasuk anggota aktif. 

Anda pun bisa ikut serta menjadi pelestari kebaya dan kain Indonesia. Silahkan lihat aktivitas Perempuan Berkebaya di social media Facebook, dengan nama akun Perempuan Berkebaya Jakarta, Perempuan Berkebaya Bogor, dan Perempuan Berkebaya Jogja. (AMF)


Wednesday, August 3, 2016

Menapaki Perjalanan Perbankan di Kota Tua Jakarta

Ratu dari timur, sebutan elok untuk Kota Batavia waktu dulu. Bagaimana tidak cantik rupanya, sebagai pusat perdagangan terbesar di Asia saat itu, ia ditata anggun dengan banyak kanal bermuara ke pelabuhan terpesat pada jamannya, kecantikannya juga dihias dengan banyak gedung megah berasitektur barat yang mewah.

Sesuai dengan lokasinya yang strategis, Kota Batavia saat itu ditumbuhi pelbagai bank yang mendukung proses perdagangan. Dari bank pemerintah hingga milik swasta tumbuh subur di sana.

"Layaknya Batavia saat itu disebut dengan Taman Bank," ujar Bapak Firman Haris, ketua LWG DMO Kota Tua Jakarta, menguatkan foto lawas masa Batavia dulu yang diuploadnya di media sosial. Benang merah itulah yang diambil bersama rekan-rekannya menjadi sebuah paket wisata yang menarik untuk dinikmati wisatawan, yakni Paket Tur Perbankan Kota Tua.

Kemudian, paket wisata ini diajukan dalam wacana dalam BIMTEK yang diadakan Kementerian Pariwisata dan LWG DMO Kota Tua Jakarta untuk mengembangkan potensi wisata Kota Tua Jakarta. Gencarnya promosi kepada kalangan wisatawan, menginspirasi saya, sebagai salah satu agen perjalanan, untuk ikut serta dalam ajang promo tersebut, tepatnya di bulan Juli 2016 lalu sepekan setelah libur lebaran.

Jalur Perjalanan

Rute paket wisata ini dibuat serupa dengan pelatihan beberapa bulan lalu, diantaranya: memasuki Museum Bank Mandiri bekas gedung Nederlandse Handels Maatschappij (NHM), Museum Bank Indonesia bekas gedung de Javasche Bank, menyusuri jalan melihat bekas gedung Escompto Bank, juga masuk ke gedung bekas Chartered Bank of India Australia and China, kembali menyusuri jalan mempresentasikan gedung bekas BNI pertama, Bank of China, The Hongkong and Shanghai  Banking Corporation, dan terakhir menuju Museum BNI 46.

Sayangnya kami tidak bisa masuk ke Museum BNI 46, karena diperlukan surat ijin resmi. Sehingga saat tur berlangsung, Pak Firman hanya memandu sampai gedung BNI pertama yang sekarang menjadi STMIK Swadharma.

Sebagai tambahan atraksi, kami bekerjasama dengan Komunitas Sepeda Ontel mengantar rombongan dari Taman Fatahillah ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Transportasi unik dan jadoel ini dulu menjadi tren di masanya, sekarang menarik orang untuk berplesiran di Kota Tua Jakarta.

Bersepeda ontel sampai ke Pelabuhan Sunda Kelapa

Kaca patri punya makna di Museum Bank Mandiri



Plesiran Berkesan

Rencana awal saya mengundang beberapa agen perjalanan dan komunitas, sayangnya karena mereka sudah ada rencana lain, maka tidak bisa ikut bergabung di tur perbankan perdana Juli lalu. Tak nyana, peserta dari guru dan kepala sekolah SMP serta dua orang mahasiswa yang bisa hadir, makin luas saja paket wisata ini bisa dikenal. Memang, paket tur perbankan ini bisa dinikmati dari pelbagai kalangan, tidak ada batasan untuk mereka yang ingin kenal lebih dekat Kota Tua Jakarta, kali ini dari sudut pandang lain yakni perbankan.

Banyak hal bisa didapatkan dari tur perbankan ini, seperti bagaimana tentang kehidupan atau kebiasaan pegawai bank saat itu, penjelasan benda di museum, bagian-bagian dalam gedung, arsitektur gedung, dan profil singkat perusahaan yang pernah menempati gedung tersebut.

Ada beberapa hal yang menarik bagi saya, yaitu bagian kaca patri layaknya lukisan, bagian-bagian arsitektur bangunan yang tak kalah bermakna bagi penghuninya maupun siapa saja yang melihatnya, juga cerita perjuangan. Ya, cerita perjuangan Indonesia yang saat itu ingin pengakuan sah jati dirinya sebagai negara yang merdeka, yaitu dengan pengedaran mata uang sendiri.

Tidak berakhir disitu, perjalanan dilanjutkan dengan  membuka lorong waktu lebih jauh dan memacu adrenalin, bersepeda ontel menuju Pelabuhan Sunda Kelapa. Kepiawaian teman-teman ontel mengantar kami dengan nyaman hingga sampai ke pelabuhan terbesar penuh kenangan waktu itu, yang membawa sang Ratu Dari Timur pada masa kejayaannya dari masa ke masa.

Kini tidak semegah dulu, namun sisa-sisa kecantikannya bisa dilihat dari kesibukan dan merapatnya kapal-kapal besar berwarna-warni. Di antara kendaraan besar pengangkut barang, terlihat turis-turis asing mengaguminya, seakan mereka melihat pesonanya dulu yang sekarang sudah tersembunyi.


Kuliner

Kelaparan? Tentu tidak. Sejalur dengan perjalanan kembali menuju Taman Fatahillah, kami mampir ke Marina. Melihat kapal pribadi yang dikelola resort, kabarnya ada paket wisata ekslusif untuk bisa dinikmati juga di sana, paket rombongan dengan kapal VIP menuju beberapa pulau menikmati laut Jakarta. Bersantai sejenak minum jus dan teh hangat dengan pemandangan laut lepas, kiranya cantik pemandangan jika senja tiba di sini.

Melanjutkan perjalanan lagi, melewati Jembatan Kota Intan. Si merah yang memiliki tiga nama ini, tetap manis dilihat, sambil bercerita ada apa dengan kisahnya dulu. Setelah Hotel De Rivier yang dulu bernama Hotel Batavia, kami membelokan arah ke kanan dan makan siang di Rumah Makan Batavia Minang. Santapan nikmat ala Minangkabau yang kaya bumbu, seolah bercerita Jakarta waktu itu hingga kini kaya akan ragam penduduknya hingga bisa dinikmati lewat rasa bukan hanya dengar dan lihat.

Tempat sederhana, tenang, dan murah meriah bisa dijadikan tempat istirahat melepas lelah. Lokasinya tidak jauh dari Taman Fatahillah, jika ingin sedikit jauh dari keramaian mampirlah ke tempat ini.

Pilihan lain untuk menikmati sajian pelbagai kuliner di sekitar Taman Fatahillah juga bisa dikunjungi, antara lain Kedai Seni Jakarta, Aroma Nusantara yang menyajikan banyak rasa kopi dari seluruh Nusantara, Cafe Batavia, Historia Food & Bar, Kedai Pos , juga beberapa tempat makan lain di tenda dan agak jalan sedikit ke arah Glodok surga makanan pun menanti Anda.

(AMF)