Adanya pergeseran makna pemakaian
kebaya saat ini hampir mematikan citra kebaya di mata dunia. Dulu gambaran
wanita Indonesia identik dengan sanggul, kebaya, berkain, dan selendangnya yang
apik. Saat ini, gambaran tersebut sudah jarang terlihat pada wanita Indonesia. Setidaknya,
ada momen-momen tertentu seperti wisuda, pesta pernikahan atau acara kebudayaan, dimana kebaya nasional
dipakai lagi. Kebaya nasional kini tersirat hanya untuk wanita usia senja dan
pakaian formal saja, namun terasa asing sebagai pakaian sehari-hari.
Menghidupkan kembali kebaya
nasioanal, empat orang wanita, yakni Lia Natalia, Kristin Samah, Rahmi
Hidayati, dan Tuti Marlina menggagas Komunitas Perempuan Berkebaya 4 Desember
2014 lalu. Sebagai wadah pembudayaan pemakaian kebaya dan kain nusantara bagi
perempuan-perempuan Indonesia, tentunya melalui wadah ini kebaya nasional pun
jadi lebih bersahabat di mata bangsa sendiri juga bangsa lain.
Awal Perjalanan
Berawal dari pertemuannya di grup
jurnalis dan mantan jurnalis sejak awal era reformasi. Mereka bertemu dengan dresscode kebaya dan kain karena umumnya
ketika bertugas ke luar kota, mereka membeli kain-kain khas daerah lalu
mengoleksinya.
Dengan kesamaan itulah mereka
melanjutkan berwisata dengan berkebaya. Dimulai sejak pendakiannya ke Dieng dan
Gunung Prau, Lia, Rahmi, Tuti, dan Kristin menjadi terpanggil dan konsisten
menggunakan kebaya dan kain hampir setiap hari. Foto-foto mereka yang beredar
di media sosial Facebook menarik perhatian rekan-rekan jurnalis lainnya, Suara.com
adalah media pertama yang mewawancarai mereka, kemudian menyusul media-media
lainnya.
Grup yang dimulai dengan 4 orang
melalui WhatsApp ini, menyusul menetapkan langkah-langkah ke depan melalui
rapat kordinasi. Pada 13 Januari 2015, nama Perempuan Berkebaya diputuskan sebagai
nama grup.
Sampai saat ini, Perempuan
Berkebaya mengajak dan berkenalan dengan banyak perempuan Indonesia lainnya
yang memiliki visi sama untuk mencintai, mengoleksi, dan pengguna kebaya serta
kain nusantara. Tingginya respon perempuan-perempuan Indonesia lainnya membawa
grup mereka mengembangkan sayapnya ke sosial media Facebook dan Instagram.
Diperkirakan sekira 600 orang
anggota yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia, dan luar Indonesia seperti
di Brunei, Kamboja, Amerika, Inggris, dan Swiss menyatakan dirinya sebagai
Perempuan Berkebaya.
Komunitas ini terbuka untuk
mereka yang terpanggil melestarikan budaya Indonesia lewat busana Indonesia.
“Kebaya hanya pintu masuk saja, karena di Indonesia ada baju kurung dan
sebagainya yang bisa dipadukan dengan kain-kain Indonesia bukan hanya batik,”
Tutur Mbak Lia.
Berbagi Cerita Perjuangan
Ada cerita menarik di balik
perjuangan lawan arus trend fashion.
Sejak Mbak Lia berwisata ala backpackers
ke beberapa negara ASEAN dan Cina, ia pun berbagi pengalamannya dengan saya.
Seperti pengalaman berkesan di
Myanmar, orang-orang menyangka ia adalah warga lokal, karena perempuan Myanmar kesehariannya
memakai kain dan blus pendek, sedangkan laki-lakinya bersarung setiap hari. Ironisnya,
ketika berjumpa dengan warga Indonesia selama di perjalanan, mereka tidak
menyangka bahwa ia berasal dari Indonesia. Oleh karena itu, ia beruntung
membayar ongkos transport dan tiket masuk wisata lebih murah, bahkan gratis.
Di Cina, orang-orang lokal tidak
mempercayai Mbak Lia yang berasal dari Indonesia. Mereka menyangka ia berasal
dari Afrika, tetapi pakaian yang dipakainya seperti orang lokal dari daerah
Selatan.
Sebagian cerita di atas
menggambarkan kebaya Indonesia yang belum dikenal baik oleh bangsa sendiri
apalagi luar Indonesia. Alasan inilah yang turut mengobarkan semangatnya untuk
berkebaya sehari-hari. Dengan berkebaya, Mbak Lia juga dapat menceritakan
banyak hal tentang Indonesia sehingga menimbulkan kesan yang baik bagi mereka
terhadap Negeri Khatulistiwa ini.
Panggilan sebagai duta kebaya dan
kain tidak hanya dilakukannya saat berplesiran saja, tetapi juga dilakoninya
saat mengikuti berbagai forum diskusi internasional di luar Indonesia. Maka
dari itu semakin terbukalah kesempatan Indonesia dan busana tradisionalnya
dikenal luas.
Semoga di masa yang akan datang,
perempuan berkebaya dan berkain nasional dapat langsung diindentifikasi sebagai
perempuan Indonesia, seperti halnya perempuan India dengan sarinya, dan
perempuan Jepang dengan kimononya.
“Semoga
di masa yang akan datang, perempuan berkebaya dan berkain dapat langsung
diindentifikasi sebagai perempuan Indonesia.”
Apa Saja Kegiatan Perempuan Berkebaya?
Ada banyak kegiatan sederhana
yang bisa dilakukan Perempuan Berkebaya.
Dimulai dengan wajib membagikan foto saat berkebaya dan berkain
sehari-hari, misal di pusat perbelanjaan setelah jam kerja, makan siang bersama
untuk mereka yang kantornya berdekatan, bergabung saat funwalk, ke tempat wisata, atau acara-acara budaya. Jadi diharapkan
kegiatan ini bisa saling memberi inspirasi.
Perempuan Berkebaya juga
mengadakan peluncuran buku bersama, acara-acara diskusi budaya soal kebaya dan
kain seperti tips dan trik menggunakan kain yang nyaman dan mudah untuk
aktivitas sehari-hari; ikut berpartisipasi dalam kegiatan yang berhubungan
dengan isu-isu perempuan, pemberdayaan perempuan, budaya, dan wisata. Tidak
lupa ikut hadir dalam acara-acara penting anggota komunitas selama tahu dan
bisa hadir.
Beberapa anggota lainnya sudah
mulai berwisata sambil berkebaya dan berkain di dalam maupun di luar negeri.
Sahabat Perempuan Berkebaya di Eropa dan Kamboja termasuk anggota aktif.
Anda pun bisa ikut serta menjadi
pelestari kebaya dan kain Indonesia. Silahkan lihat aktivitas Perempuan
Berkebaya di social media Facebook, dengan nama akun Perempuan Berkebaya
Jakarta, Perempuan Berkebaya Bogor, dan Perempuan Berkebaya Jogja. (AMF)

No comments:
Post a Comment